Thursday, October 20, 2016

[Oneshoot] BETWEEN THE RAIN AND A TEACUP

BETWEEN THE RAIN AND A TEACUP

Cast                 : Mark Tuan, Baek Ye Rin
Author             : Airis
Genre              : Sad, Romance
Summary      : Di antara hujan dan secangkir kopi, mereka terdiam. Sebuah kalimat yang keluar dari mulut Mark membuat mereka bungkam dengan semua rasa sakit yang tiba-tiba datang. Apa yang dikatakan Mark? Benarkah Mark adalah seorang Badboy? Atau Ye Rin yang salah mengambil keputusan?

***

Rintik itu tak kunjung berhenti, malah semakin deras dan membuat hati semakin pilu. Rasa dingin yang mulai menusuk aku hiraukan, hanya sesekali aku menyapu kedua lenganku yang tanpa balutan. Aku menatap nanar saat daun kering berjatuhan karena tetesan air hujan. Kenapa rasanya masih sangat menyakitkan?

Sebuah elusan pada puncak kepala membuatku menengadah. Kutemui sepasang mata yang menatapku sedih. Aku memaksakan sebuah senyum yang membuatnya ikut tersenyum menenangkan. Ia mengangsurkan secangkir teh yang masih mengepul. Bau teh itu kembali mengingatkanku pada laki-laki brengsek itu. Kenapa semuanya mengingatkanku padanya?

“Kau tidak mau meminumnya?”

Aku yang menyadari segera menerima angsuran cangkir teh nya.

“Perlu aku temani?”

Aku mengangguk tanpa sadar. Perempuan paruh baya yang ku panggil Eomma itu duduk di sebelahku. Ia tak mengatakan apapun, ia membiarkanku larut dalam lamunan.

“Aku akan menikah...Tapi maaf, perempuan itu bukan kamu...”

Kata-kata kejam itu kembali berdengung di telinga, membuatku kembali menitikkan air mata. Rasa sakit dan sesak itu kembali menyiksa.

Dasar laki-laki tak berperasaan! Bagaimana bisa dia mengatakan kalimat itu tanpa rasa bersalah? Dapatkah aku mengatakannya begitu? Toh pada nyatanya laki-laki itu hanya menunduk saat mengatakannya. Mengingat kalimat itu membuat kenangan yang berusaha aku tekan kembali berputar. Tak ada jeda. Seperti seseorang menuangkan semangkuk air garam pada luka menganga, hatiku kembali terluka. Bahkan rasanya semakin menyakitkan.

“Kau kehujanan. Sebentar, akan aku ambilkan handuk.”

Tangan yang biasanya hangat itu berubah dingin karena hujan. Saat ia mencekal pergelangan tanganku, rasa dingin itu membuat bulu kudukku berdiri.

“Tidak usah. Ada yang harus aku bicarakan padamu.” Tatapan jenakanya tak kudapati, yang ku lihat mata itu berubah sedih.

“Memangnya apa yang ingin kau bicarakan? Kau tidak ingin meminum tehnya dulu? Aku sudah menyiapkannya sejak kau mengatakan akan kemari.” Aku berusaha mencairkan suasana yang canggung ini. Aku benci kecanggungan, harusnya dia tahu itu.

Ia mengusap wajahnya sekali sebelum mengeluarkan kalimat sakral yang membuat jantungku tak berdetak beberapa detik. Oksigen tiba-tiba lenyap. Rasa dingin menjadi semakin dingin. Kenangan indah ketika hujan dengan meminum secangkir teh panas tak ada lagi. Semuanya berganti menjadi sebuah kenangan buruk.

Sebuah pelukan hangat itu menarikku dari kenangan menyakitkan yang seharusnya kulupakan, namun tak semudah itu untukku menghapusnya. Terlalu banyak kenanganku bersamanya. Terlalu banyak impian-impian yang sudah direncanakan bersamanya.

“Kamu bisa mendapatkan yang jauh lebih baik dari dia, Sayang...”

Aku menyentuh lengan Eomma yang memelukku. Air mata terus saja mengucur hingga hidungku terasa penuh dan badanku bergetar. Tangisku semakin keras seiring hujan yang semakin lebat.

“Ye Rin-ah...” panggilan penuh rasa khawatir itu membuatku mendongak. Laki-laki itu...


Entah mendapat kekuatan dari mana, aku melepaskan pelukan Eomma dan berlari menuju laki-laki yang berdiri di ambang pintu dengan keadaan basah kuyup. Aku mendorongnya sekuat tenaga meski kutahu itu sia-sia. Kekuatanku tak sebanding dengannya. Pria itu hanya mundur beberapa senti dari tempatnya berdiri. Aku memukulnya membabi-buta. Keadaanku pasti terlihat sangat menyedihkan, aku tak peduli lagi!

“Untuk apa kau kembali lagi ke sini, Mark! Pergilah dan jangan ganggu hidupku lagi!” teriakku masih dengan memukul bagian tubuh Mark yang terjangkau oleh tanganku. “Setelah melukaiku, kenapa kau berani menginjakkan kaki kemari?”

Mark menangkap tanganku yang melayang ke wajahnya. Dengan perlahan dia menurunkan tanganku di kedua sisi tubuhku. Pria itu melepaskan sarung tangannya, lalu dengan tangan hangatnya ia menggosok kedua lenganku seraya menatapku khawatir. Cih! Khawatir? Aku tidak memercayainya lagi.

“Kenapa tidak memakai pakaian hangat? Kau bisa sakit kalau begini.”

Aku sudah sakit, Mark. Dan itu karena kamu! karena kamu yang mencampakkanku demi wanita lain! Ingin aku meneriakkan kalimat itu, namun yang keluar dari mulutku yang bergetar hanya satu kata, “pergilah...”

“Aku akan pergi setelah kamu masuk dan tidak kedinginan lagi,” ucapnya seraya membalik tubuhku.

Aku baru menyadari kalau saat ini hanya ada kami berdua di sini, tak ada Eomma yang tadi menemaniku. Aku kembali berbalik dan menatap di kedua manik matanya. “Jangan membuatku semakin sulit melepaskanmu, Mark. Cukup kau buat aku seperti di dalam penjara satu tahun terakhir ini.”

“Maaf telah membuatmu terluka...”

“Tidak usah meminta maaf. Hanya pergi sejauh mungkin dariku, itu jauh lebih berguna daripada permintaan maaf.”

“Baiklah...”

Mark merogoh kantong jaketnya, lalu sebuah undangan yang sedikit terkena air hujan ia ulurkan padaku. Tanganku sudah mengepal melihat undangan pernikahan berwarna gading itu. Desain itu... desain itulah yang pernah aku sampaikan pada Mark jika kami menikah nanti. Undangan itu sama persis dengan desain kasar yang kuberikan padanya, dengan nama Mark Tuan sebagai mempelai prianya. Namun nama di bawah nama Mark bukanlah namanya. Kim Na Yeon, itulah yang tertera di sana.

“Aku ingin kau datang.”

“Dan melihatmu menikah dengan wanita lain? Tidak, Mark!”

“Pernikahan kami waktu itu ditunda karena Na Yeon jatuh sakit.”

“Aku tidak peduli.”

“Tapi kamu harus tahu satu hal...”

“Aku tidak mau tahu apapun tentangmu, Mark!” Tidakkah laki-laki itu tahu kalau aku tidak ingin mendengar apapun darinya yang hanya akan membuatku terluka? Kemana kepekaannya selama ini?

“Terimalah ini. Setelah itu terserah kamu akan datang ke pernikahanku atau tidak.” Mark mengambil tanganku, membuka kepalan tanganku dan meletakkan undangan itu di atas telapak tanganku. Pria itu tersenym saat aku menatapnya. “Aku masih mencintaimu...”

Hanya tiga kata, namun dapat melumpuhkan seluruh indraku. Saat aku sadar, Mark sudah tidak ada dan aku sudah terduduk di lantai. Mataku menemukan undangan yang ditinggalkan oleh Mark, yang membuatku yakin bahwa kejadian tadi itu nyata. Dan yang kudengar tadi tidak salah, kan?

Di sebelah undangan aku menemkan sebuah kertas yang dilipat. Aku hafal dengan tulisan tangan itu. Buru-buru aku membuka dan membacanya.

Seandainya saat itu kamu melarangku untuk pergi, saat ini aku pasti masih bersamamu. Tapi saat itu kamu tak mengatakan sepatah katapun untuk menahanku di sisimu. Kau biarkan Hujan mereda dan secangkir teh panas itu mendingin lalu menyuruhku untuk menjauh dari hidupmu. Mungkin ragaku ini akan menjadi milik orang lain, namun hatiku sampai saat ini masih milikmu. Hatiku masih terus memanggil namamu dan bibirku masih saja memujamu. Tapi aku tahu, cepat atau lambat hatiku pasti akan menjadi milik orang lain pula. Dia adalah orang yang akan menjadi Istriku, Kim Na Yeon. Maka, cari laki-laki lain dan berbahagialah. Biarkan kenangan kita menjadi kenangan yang tak perlu diingat lagi. Sampai bertemu lagi ketika kau sudah bahagia, Ye Rin-ah.

Yang hingga saat ini masih mencintaimu, Mark Tuan.

Air mata yang sudah kering tanpa kusadari, kini kembali basah. Seandainya saat itu aku mengatakan ‘Jangan pergi’ atau ‘Jangan menikah dengan wanita lain selain aku’, akankah dia tetap menjadi milikku? Apakah ini semua karena kesalahanku?

Selama empat tahun bersama, kenapa aku tidak pernah menyadarinya? Kenapa aku tidak pernah menyadari kalau selama ini pria itu selalu menuruti perkataanku? Ada apa denganku sebenarnya?

“Aku bodoh! Bagaimana aku tidak mengetahuinya? Baek Ye Rin bodoh!”

Seribu kalipun aku mengatakan kalau diriku bodoh, dia tidak akan kembali lagi. Pria itu selalu memegang janji dan sangat patuh pada orang tuanya. Meski dia pernah berjanji untuk membangun rumah tangga denganku, kalau orang tuanya sudah memilihkan calon untuknya, ia bisa apa? Toh aku juga yang tidak menahannya untuk tetap di sisiku.

Aku menghapus kasar air mata yang mengalir di ke dua pipi. Pandanganku tertumpu pada secangkir teh yang tak lagi mengepul. Hujan di luarpun tinggal menyisakan rintik. Di antara hujan yang mereda dan secangkir teh yang mendingin aku kembali tersenyum. Semuanya membuatku instropeksi diri, tak sepenuhnya kandasnya hubunganku dengan Mark karena kesalahan laki-laki itu. Aku juga ikut andil di dalamnya. Seperti yang kau minta, sampai bertemu lagi saat kau dan aku bahagia meski tidak berada di jalan yang sama lagi, Mark.
END


13 Juli 2016, 21:55 WIB

Cerita ini pernah aku post di akun wattpadku (@Airis_01) dengan judul yang sama.

No comments:

Post a Comment