BETWEEN
THE RAIN AND A TEACUP
Cast :
Mark Tuan, Baek Ye Rin
Author : Airis
Genre : Sad, Romance
Summary : Di antara hujan dan secangkir
kopi, mereka terdiam. Sebuah kalimat yang keluar dari mulut Mark membuat mereka
bungkam dengan semua rasa sakit yang tiba-tiba datang. Apa yang dikatakan Mark?
Benarkah Mark adalah seorang Badboy? Atau Ye Rin yang salah mengambil
keputusan?
***
Rintik itu tak kunjung berhenti, malah semakin deras dan membuat hati semakin pilu. Rasa dingin yang mulai menusuk aku hiraukan, hanya sesekali aku menyapu kedua lenganku yang tanpa balutan. Aku menatap nanar saat daun kering berjatuhan karena tetesan air hujan. Kenapa rasanya masih sangat menyakitkan?
Sebuah elusan pada puncak kepala
membuatku menengadah. Kutemui sepasang mata yang menatapku sedih. Aku memaksakan
sebuah senyum yang membuatnya ikut tersenyum menenangkan. Ia mengangsurkan
secangkir teh yang masih mengepul. Bau teh itu kembali mengingatkanku pada
laki-laki brengsek itu. Kenapa semuanya mengingatkanku padanya?
“Kau tidak mau meminumnya?”
Aku yang menyadari segera menerima
angsuran cangkir teh nya.
“Perlu aku temani?”
Aku mengangguk tanpa sadar.
Perempuan paruh baya yang ku panggil Eomma itu duduk di sebelahku. Ia
tak mengatakan apapun, ia membiarkanku larut dalam lamunan.
“Aku akan menikah...Tapi maaf, perempuan itu bukan kamu...”
“Aku akan menikah...Tapi maaf, perempuan itu bukan kamu...”
Kata-kata kejam itu kembali
berdengung di telinga, membuatku kembali menitikkan air mata. Rasa sakit dan
sesak itu kembali menyiksa.
Dasar laki-laki tak berperasaan! Bagaimana bisa dia mengatakan kalimat itu tanpa rasa bersalah? Dapatkah aku mengatakannya begitu? Toh pada nyatanya laki-laki itu hanya menunduk saat mengatakannya. Mengingat kalimat itu membuat kenangan yang berusaha aku tekan kembali berputar. Tak ada jeda. Seperti seseorang menuangkan semangkuk air garam pada luka menganga, hatiku kembali terluka. Bahkan rasanya semakin menyakitkan.
“Kau kehujanan. Sebentar, akan aku ambilkan handuk.”
Tangan yang biasanya hangat itu berubah dingin karena hujan. Saat ia mencekal pergelangan tanganku, rasa dingin itu membuat bulu kudukku berdiri.
“Tidak usah. Ada yang harus aku bicarakan padamu.” Tatapan jenakanya tak kudapati, yang ku lihat mata itu berubah sedih.
“Memangnya apa yang ingin kau bicarakan? Kau tidak ingin meminum tehnya dulu? Aku sudah menyiapkannya sejak kau mengatakan akan kemari.” Aku berusaha mencairkan suasana yang canggung ini. Aku benci kecanggungan, harusnya dia tahu itu.
Ia mengusap wajahnya sekali sebelum mengeluarkan kalimat sakral yang membuat jantungku tak berdetak beberapa detik. Oksigen tiba-tiba lenyap. Rasa dingin menjadi semakin dingin. Kenangan indah ketika hujan dengan meminum secangkir teh panas tak ada lagi. Semuanya berganti menjadi sebuah kenangan buruk.
Sebuah pelukan hangat itu menarikku dari kenangan menyakitkan yang seharusnya kulupakan, namun tak semudah itu untukku menghapusnya. Terlalu banyak kenanganku bersamanya. Terlalu banyak impian-impian yang sudah direncanakan bersamanya.
“Kamu bisa mendapatkan yang jauh lebih baik dari dia, Sayang...”
Aku menyentuh lengan Eomma yang memelukku. Air mata terus saja mengucur hingga hidungku terasa penuh dan badanku bergetar. Tangisku semakin keras seiring hujan yang semakin lebat.
“Ye Rin-ah...” panggilan penuh rasa khawatir itu membuatku mendongak. Laki-laki itu...